GLOBAL HISTORY — Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan bahwa mulai 1 Agustus 2025, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru mengenai perpajakan aset kripto resmi berlaku.
Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengatakan regulasi ini membawa sejumlah perubahan penting, terutama dalam skema pajak penghasilan dan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk transaksi kripto. Langkah ini menyusul perubahan klasifikasi kripto dari komoditas menjadi aset keuangan digital.
“Masa berlaku efektif berlaku mulai 1 Agustus 2025, jadi mulai besok. Terjadi perubahan klasifikasi aset kripto yang mana dari yang semula adalah komoditi menjadi aset keuangan digital. Jadi, digital financial asset,” kata Bimo dalam Media Briefing, di kantor DJP, Kamis (31/7/2025)
Bimo menjelaskan bahwa perubahan status kripto tersebut berdampak langsung pada tata kelola pajaknya. Kini, aset kripto dinilai memiliki karakteristik yang sesuai dengan surat berharga, sehingga tidak lagi dikenakan PPN. Sebagai kompensasi, pemerintah menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) final.
“Nah berdasarkan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan perubahan klasifikasi dari komoditas menjadi aset digital finance tersebut, aset keuangan digital tersebut, memenuhi karakteristik sebagai surat berharga. Sehingga aset kripto tersebut sebagai karakteristiknya yang sesuai dengan surat berharga dan sebagai aset keuangan digital itu tidak lagi dikenai pajak pertambahan nilai,” jelasnya.
Menurutnya, dengan diterapkannya PMK baru ini, para pelaku pasar kripto baik dalam negeri maupun luar negeri harus segera menyesuaikan sistem pencatatan dan pelaporan pajaknya.
Adapun PMK ini sekaligus mencabut dua regulasi sebelumnya, yakni PMK 81 Tahun 2024 dan PMK 11 Tahun 2025, yang sebelumnya mengatur mekanisme perpajakan atas kripto. Kini, seluruh ketentuan disatukan dalam satu regulasi terpadu.
PPN Dihapus, PPh Final Naik
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4333284/original/025003700_1677053916-Pajak_2.jpg)
Lebih lanjut, Bimo menyampaikan salah satu perubahan paling signifikan adalah penghapusan PPN atas transaksi kripto, yang sebelumnya dikenakan sebesar 0,11% untuk transaksi melalui Bappebti, dan 0,22% non-Bappebti. Kini, dengan klasifikasi baru sebagai surat berharga, kripto tidak lagi masuk dalam kategori objek PPN.
Sebagai gantinya, PPh Pasal 22 Final mengalami penyesuaian tarif. Untuk transaksi melalui pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri, tarif pajak naik menjadi 0,21%. Sementara untuk transaksi luar negeri, tarif ditetapkan sebesar 1%, yang dipungut oleh PPMSE asing atau disetor sendiri oleh wajib pajak.
“PPN tidak dikenai lagi karena sudah masuk kriteria karakteristik sebagai surat berharga, ada pun PPH Pasal 22 finalnya ada sedikit kenaikan, jadi untuk mengkomensasi PPN yang sudah tidak ada,” ujarnya.
Atur Kewajiban Kripto Lainnya
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4816480/original/079795300_1714383491-fotor-ai-2024042913369.jpg)
Tak hanya perdagangan kripto, PMK baru juga mengatur kewajiban perpajakan bagi jasa platform, penambangan (mining), dan entitas luar negeri. Semua penyedia layanan digital yang terlibat dalam ekosistem kripto kini memiliki tanggung jawab perpajakan sesuai klasifikasi aset keuangan digital.
Pemerintah menegaskan bahwa platform luar negeri yang menjual atau memfasilitasi transaksi aset kripto kepada pengguna di Indonesia wajib memungut dan menyetor PPh sesuai ketentuan. Bila tidak, maka pengguna (investor) diwajibkan melakukan penyetoran secara mandiri.
“Lalu yang 1% luar negeri dipungut oleh PPMSE luar negeri atau menyetorkan sendiri. Kemudian ada juga selain perdagangan yang diatur itu nanti jasa platform, mining dan penunjukan platform luar negeri,” pungkasnya.